iDAN

07 Februari 2015

SEJADAH DAN GODAAN IBLIS

 Tengahari menjelang Zohor di mana ada salah satu Iblis sedang berada dalam Masjid. Kebetulan hari itu adalah hari Jumaat di mana saat berkumpulnya orang. Iblis sudah ada dalam Masjid ia kelihatan begitu khusyuk. Para jemaah mulai memenuhi setiap ruang dalam masjid.  Iblis menjelma menjadi ratusan bentuk  masuk dari segala penjuru samada atas jendela, pintu atau pintu masuk tandas. Pada setiap orang, Iblis juga masuk dalam telinga, saraf mata, urat nadi lalu menggerakkan denyut jantung setiap para jamaah yang hadir. Iblis juga menyelinap di setiap sejadah.

“Hai, iblis!”, panggil tuan imam ketika baru masuk ke Masjid itu. Iblis merasa terusik : “Kau kerjakan saja tugasmu, tuan imam. Tidak perlu kau menegah saya. Ini hak saya untuk mengganggu setiap orang dalam Masjid ini!”, dengus Iblis

“Ini rumah Tuhan, iblis! Tempat yang suci, kalau engkau mahu ganggu, kau boleh lakukannya di luar nanti!”, tuan imam  cuaba mengusir Iblis itu.


"Tuan imam!  hari ini adalah hari ujian bagi mencuba sistem baru". kata Iblis membuatkan tuan imam tercengang.


"Saya sedang menerapkan cara baru untuk menjerat kaummu".
"Dengan apa?" tanya Tuan imam
"Dengan sejadah!" jawab Iblis.

“Apa yang boleh kau lakukan dengan sejadah itu, Iblis?”
“Pertamanya saya akan masuk ke dalam hati setiap pemilik saham industri sejadah. Mereka akan saya ulikkan dengan mimpi untung besar. Sehingga, mereka akan terus memeras buruh untuk bekerja dengan upah yang rendah demi keuntungan besar!”

“Ah, itu kan memang cara lama yang sering kau pakai. Tidak ada yang baru, Iblis?”
“Bukan itu saja tuan imam…” tegas Iblis.
“Lalu?” tanya tuan Imam lagi
Iblis menjawab, “Saya juga akan masuk pada setiap hati juru reka sejadah.Saya akan menumbuhkan gagasan  agar para juru reka itu agar membuat sejadah yang lebar-lebar”

“Untuk apa?” tanya tuan imam
“Supaya, saya lebih berpeluang untuk menanamkan rasa ego  pada setiap kaum yang engkau pimpin, Tuan imam! Selain itu, Saya akan lebih bebas untuk masuk dalam sof solat. Dengan sejadah yang lebar maka barisan sof akan renggang. Dan saya ada di celah sof yang renggang itu. Di situ Saya boleh ikut membentangkan sejadah”. jawab Iblis dengan yakin.

Dialog Iblis dan Tuan imam terputus seketika.

Dua orang datang di mana keduanya membentangkan sejadah. Keduanya duduk berdampingan. Salah seorangnya memiliki sejadah yang lebar manakala seorang lagi membawa sejadah lebih kecil. Orang yang punya sejadah lebar seenaknya saja membentangkan sejadahnya tanpa melihat kanan-kirinya. Sementara orang yang punya sejadah lebih kecil merasa tidak enak hati jika harus mendesak jamaah lain yang lebih dulu datang.

Tanpa berpikir panjang maka pemilik sejadah kecil membentangkan saja sejadahnya sehingga bahagian sejadah yang lebar ditutupi sepertiganya. Kemudian keduanya melakukan solat sunat

“Nah, lihat itu Tuan imam!”, Iblis memulai dialog lagi.
“Yang mana?” Tuan imam bertanya
“Ada dua orang yang sedang solat sunat itu. Mereka punya sejadah yang berbeza ukuran. Lihat sekarang, aku akan masuk di antara mereka”. Seru Iblis yang kemudiannya lenyap.

Iblis sudah menyelinap masuk ke dalam sof. Tuan imam hanya memerhatikan sahaja kedua orang yang sedang melakukan solat sunat itu. Tuan imam akan melihat kebenaran rancangan yang dikatakan Iblis sebelumnya.

Pemilik sejadah lebar, rukuk dan kemudiannya sujud. Tetapi ketika bangkit dari sujud maka dia membuka sejadahya yang tertutup lalu meletakkan sejadahnya di atas sejadah yang kecil. Hingga sejadah yang kecil kembali berada di bawahnya.

Dia kemudian berdiri. Sementara itu pemilik sejadah yang lebih kecil telah melakukan hal serupa. Ia juga membuka sejadahnya kerana sejadahnya telah ditutup oleh sejadah yang lebar. Perkara ini terus berjalan sehingga selesai solat.

Bahkan ketika solat Jumaat yang wajib juga kelihatan berlakunya kejadian seperti itu di beberapa sudut dalam masjid itu.

Orang lebih memilih untuk berada di atas daripada menerima di bawah. Di atas sejadah dapat dilihat bagaimana orang sudah berebut kekuasaan atas lainnya. Siapa yang memiliki sejadah lebar, maka  dia akan meletakkan sejadahnya di atas sejadah yang kecil.

Sejadah sudah dijadikan oleh Iblis sebagai pembezaan kelas. Pemilik sejadah lebar dikelaskan sebagai para pemilik kekayaan di mana setiap saat harus lebih di atas daripada yang lain.

Dan pemilik sejadah kecil adalah kelas bawah di mana setiap saat akan sentiasa menjadi orang yang dipandang rendah dari pandangan orang yang berkuasa. Di atas sejadah, Iblis telah mengajari orang supaya selalu menguasai orang lain.

“Astaghfirullahal adziiiim “, guman tuan Imam secara perlahan.

Ketika Iblis Menggunakan Sajadah untuk Mengganggu Manusia

Siang menjelang Dzuhur. Salah satu Iblis ada di Masjid. Kebetulan hari itu Jum'at, saat berkumpulnya orang. Iblis sudah ada dalam Masjid. Ia tampak begitu khusyuk. Orang mulai berdatangan. Iblis menjelma menjadi ratusan bentuk & masuk dari segala penjuru, lewat jendela, pintu, ventilasi, atau masuk lewat lubang pembuangan air.

Pada setiap orang, Iblis juga masuk lewat telinga, ke dalam syaraf mata, ke dalam urat nadi, lalu menggerakkan denyut jantung setiap para jamaah yang hadir. Iblis juga menempel di setiap sajadah. “ "Hai, Blis!", panggil Kiai, ketika baru masuk ke Masjid itu. Iblis merasa terusik: “ "Kau kerjakan saja tugasmu, Kiai. Tidak perlu kau larang-larang saya. Ini hak saya untuk menganggu setiap orang dalam Masjid ini!", jawab Iblis ketus.

“Ini rumah Tuhan, Blis! Tempat yang suci, Kalau kau mau ganggu, kau bisa diluar nanti! “ , Kiai mencoba mengusir.“ 
"Kiai, hari ini, adalah hari uji coba sistem baru. Saya sedang menerapkan cara baru, untuk menjerat kaummu."
“"Dengan apa?"“ 
"Dengan sajadah!"
"Apa yang bisa kau lakukan dengan sajadah, Blis?"
"Pertama, saya akan masuk ke setiap pemilik saham industri sajadah. Mereka akan saya jebak dengan mimpi untung besar. Sehingga, mereka akan tega memeras buruh untuk bekerja dengan upah di bawah UMR, demi keuntungan besar!"
"Ah, itu kan memang cara lama yang sering kau pakai. Tidak ada yang baru,Blis?"
"Bukan itu saja Kiai..."
"Lalu?"
"Saya juga akan masuk pada setiap desainer sajadah. Saya akan menumbuhkan gagasan, agar para desainer itu membuat sajadah yang lebar-lebar."
"Untuk apa?"
"Supaya, saya lebih berpeluang untuk menanamkan rasa egois di setiap kaum yang kau pimpin, Kiai! Selain itu, Saya akan lebih leluasa, masuk dalam barisan sholat. Dengan sajadah yang lebar maka barisan shaf akan renggang. Dan saya ada dalam kerenganggan itu. Di situ Saya bisa ikut membentangkan sajadah."

Dialog Iblis dan Kiai sesaat terputus. Dua orang datang, dan keduanya membentangkan sajadah. Keduanya berdampingan. Salah satunya, memiliki sajadah yang lebar. Sementara, satu lagi, sajadahnya lebih kecil.

Orang yang punya sajadah lebar seenaknya saja membentangkan sajadahnya, tanpa melihat kanan-kirinya. Sementara, orang yang punya sajadah lebih kecil, tidak enak hati jika harus mendesak jamaah lain yang sudah lebih dulu datang. Tanpa berpikir panjang, pemilik sajadah kecil membentangkan saja sajadahnya, sehingga sebagian sajadah yang lebar tertutupi sepertiganya.

Keduanya masih melakukan sholat sunnah.

“"Nah, lihat itu Kiai!", Iblis memulai dialog lagi.
“"Yang mana?"
"Ada dua orang yang sedang sholat sunnah itu. Mereka punya sajadah yang berbeda ukuran. Lihat sekarang, aku akan masuk diantara mereka."

Iblis lenyap. Ia sudah masuk ke dalam barisan shaf.

Kiai hanya memperhatikan kedua orang yang sedang melakukan sholat sunah. Kiai akan melihat kebenaran rencana yang dikatakan Iblis sebelumnya. Pemilik sajadah lebar, rukuk. Kemudian sujud. Tetapi, sembari bangun dari sujud, ia membuka sajadahya yang tertumpuk, lalu meletakkan sajadahnya di atas sajadah yang kecil. Hingga sajadah yang kecil kembali berada di bawahnya. Ia kemudian berdiri. Sementara, pemilik sajadah yang lebih kecil, melakukan hal serupa. Ia juga membuka sajadahnya, karena sajadahnya ditumpuk oleh sajadah yang lebar. Itu berjalan sampai akhir sholat.

Bahkan, pada saat sholat wajib juga, kejadian-kejadian itu beberapa kali terihat di beberapa masjid. Orang lebih memilih menjadi di atas, ketimbang menerima di bawah. Di atas sajadah, orang sudah berebut kekuasaan atas lainnya. Siapa yang memiliki sajadah lebar, maka, ia akan meletakkan sajadahnya diatas sajadah yang kecil. Sajadah sudah dijadikan Iblis sebagai pembedaan kelas.

Pemilik sajadah lebar, diindentikan sebagai para pemilik kekayaan, yang setiap saat harus lebih di atas dari pada yang lain. Dan pemilik sajadah kecil, adalah kelas bawah yang setiap saat akan selalu menjadi sub-ordinat dari orang yang berkuasa.

Di atas sajadah, Iblis telah mengajari orang supaya selalu menguasai orang lain. “ Astaghfirullahal adziiiim “ , ujar sang Kiai pelan.

Sumber: milis An-Nuur

Bolehkah atau Sujud Di Atas Sajadah?



Assalamualaikum

Apakah sah menaruh dahi di atas sajadah ketika kita sujud dalam solat kita ...??

Kesaksian Sahabat tentang bagaimana sujudnya Rasulullah SAW:

1. Al-Wâil bin Hajar berkata: "Aku melihat Rasulullâh Saw, apabila beliau bersujud, beliau meletakkan dahi dan hidungnya di atas tanah".
2. Ibnu 'Abbâs berkata: "Sesungguhnya Nabi Saw pernah melakukan sujud di atas batu".
3. 'Âisya berkata: "Aku tidak pernah melihat Rasulullâh Saw menyandarkan wajahnya (dahinya) ketika shalât dengan sesuatu apa pun, selain di atas batu atau tanah, ketika beliau melakukan sujud".
Dengan riwayat ketiga ini, jelaslah bagi kita dengan kesaksian istri beliau sendiri bahwa sesungguhnya beliau melakukan sujud di atas tanah dan menyandarkan dahi beliau yang mulia di atas tanah.
4. Abû Sa'îd al-Khudrî berkata: "Aku melihat Rasulullâh Saw pada dahinya terdapat bekas-bekas tanah dan air".
5. Abu Hurairah berkata: "Aku melihat Rasullah Saw melakukan sujud pada hari turun hujan dan pada dahi beliau terdapat bekas-bekas tanah".

Muhammad bin Idris yang lebih dikenal dengan nama Imâm Syâfi'î di dalam kitabnya yang terkenal yaitu al-Umm, beliau mengatakan bahwa: "Apabila seseorang sujud dan dahinya sama sekali tidak menyentuh tanah, maka sujudnya dianggap tidak sah. Tetapi jika seseorang sujud dan bagian dahinya menyentuh tanah, maka sujudnya dianggap cukup dan sah, Insya Allâh".

Awal mula bid’ah Sajadah masuk Masjid :

1. Al-Ghazâlî dalam kitabnya Ihyâ 'Ulumûddîn berkata: "Sesungguhnya ketika itu perbuatan menghampari masjid Nabawi dengan bawari atau tikar dianggap sebagai perbuatan bid'ah dan ada yang mengatakan bahwa hal itu dilakukan oleh Hajjâj bin Yusuf. Sebelum itu orang-orang tidak menempatkan sesuatu penghalang antara dahi-dahi mereka dengan tanah ketika mereka sujud".
2. Qatâdah berkata bahwa ia melakukan sujud kemudian kedua matanya tertusuk oleh bagian tikar itu hingga ia menjadi buta, ia berkata: "Semoga Allâh melaknat Hajjâj. Ia telah membuat bid'ah dengan menghampari masjid ini dengan Bawari (sejenis tikar)".
3. 'Umar bin 'Abdul 'Azîz pernah menulis surat kepada 'Udaî bin Artâh. Ia berkata: "Telah sampai berita kepadaku bahwa engkau telah mengerjakan sunnahnya Hajjâj. Aku nasihatkan janganlah engkau mengerjakan sunnah tersebut karena sesungguhnya ia salât tidak pada waktunya. Ia pun mengambil zakât bukan dari orang yang berhaq diambil zakâtnya dan ketika ia melakukan hal itu, ia telah membuat kerosakan".

Kapan Sajadah dikenal (secara umum)

Masjid-masjid hingga pada zaman khalîfah yang empat tetap tidak dihampari dengan permadani, bukan pula karena mereka tidak punya ide dan keinginan untuk itu.

Akan tetapi karena hal itu dilarang oleh syari'at Islâm dan tidak boleh sujud ketika salat kecuali di atas tanah secara langsung. Dan demi menjaga syariat Islâm serta menganggap bahwa sujud di atas karpet atau permadani itu adalah termasuk bid'ah.

Oleh karena itu, ketika terik panas para sahabat Nabi Saw - sebagaimana dalam riwayat-riwayat – menggengam batu-batu kecil agar menjadi dingin dan mereka jadikan sebagai alas sujud. As-Sakhâwi berkata: "Sesungguhnya masjid-masjid sampai pada tahun 131 Hijriah atau 132 Hijriah masih tetap menggunakan tanah atau batu-batu kecil".

Sehubungan dengan masalah sajadah dapat kita ketahui secara jelas dengan merujuk pada ensiklopedia Islâm (di dalam kitab itu disebutkan bahwa: "Istilah sajadah tidak ditemukan di dalam kitab suci Al-Qur'ân dan hadits-hadits yang sahih. Kata sajadah ini dapat dijumpai satu abad setelah penulisan hadits-hadits tersebut".

Ibnu Batutah mengatakan di dalam kitabnya Rihlah Ibnu Batutah berkata: "Orang-orang pinggiran kota Kairo Mesir telah terbiasa keluar rumah mereka untuk pergi melakukan shalât Jum'at. Para pembantu mereka biasanya membawakan sajadah dan menghamparinya untuk keperluan salât mereka. Sajadah mereka itu terbuat dari pelepah-pelepah daun korma".


Dia menambahkan: "Penduduk kota Mekkah pada masa ini (pada masanya Ibnu Batutah) melakukan solat di Masjid Jâmi' dengan menggunakan sajadah. Kaum muslimin yang pulang haji banyak membawa sajadah buatan Eropa yang bergambar (ada yang bergambar salib) dan mereka tidak memperhatikan gambar tersebut. Sajadah masuk ke Mesir dengan jalan impor dari Asia untuk dipakai salat oleh orang-orang kaya, di dalam sajadah itu terdapat gambar mihrab yang mengarah ke kiblat.

Syaikh Murtadâ Az-Zubaîdî di dalam kitabnya Ittihaful Muttaqin berkata: "Musallî hendaknya tidak melakukan solat di atas sajadah atau permadani yang bergambar dan dihiasi dengan beragam gambar yang menarik. Karena hal itu membuat si musâlli tidak khusyu' di dalam solatnya, karena perhatiannya akan tertuju pada warna-warni sajadah itu. Kita telah tertimpa bencana dengan permadani-permadani Romawi itu yang kini digelar di masjid-masjid dan rumah-rumah yang dipakai untuk shalât, sehingga kebiasaan bid'ah itu telah membuat orang yang melakukan salat di tempat lainnya dianggap tidak sah dan kurang sopan". Lâ Hawla wa lâ Quwwata îllâ Billâh.

Kuat dugaan bahwa semua ini adalah akibat ulah dan perbuatan orang-orang Barat – semoga Allah mengutuk mereka – yang telah memasukkan sesuatu ke dalam kalangan kaum muslimin sedang mereka lalai dan lengah dari tipu daya musuh-musuh tersebut. Lebih aneh lagi, aku (syaikh Murtada.. pen) pernah melihat di sebuah masjid yang berhamparkan permadani, namun permadani itu memiliki gambar salib. Hal inilah yang membuatku semakin terkejut. Aku yakin bahwa semua ini adalah perbuatan dan tipu-daya orang-orang Nasrani".

Jadi jelaslah bahwa meletakkan dahi di atas tanah ketika solat merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar ketika tidak ada halangan. Dan sujud di dalam syari'at Islâm tidaklah sah dan tidak dapat dinamakan sujud apabila dahinya itu tidak menyentuh tanah secara langsung.

LALU BAGAIMANA DENGAN SUJUD-SUJUD YANG SELAMA INI SAYA LAKUKAN SEBAB KITA SELALU  MEMAKAI  SAJADAH.?

Wassalam,
Muhammad Furqan, Kemayoran, Jakarta

JAWABAN
Wa'alaikum salam wr.wb.

Terima kasih ustadz Furqan atas pertanyaannya. Jazakumullah khairal jazaa. Selintas apabila kita memperhatikan hadits-hadits dan argument di atas nampak seolah membenarkan anggapan itu bahwa sujud harus di atas tanah, tidak boleh dihalangi oleh penghalang lainnya, termasuk sajadah atau tikar.
Namun, tentu untuk menetapkan sebuah hukum kita tidak boleh hanya melihat satu pihak atau beberapa hadits saja. Kita harus berupaya membaca semua hadits yang berkaitan dengan itu, termasuk bantuan pendapat para ulama akan hal itu, kemudian mengkajinya dengan bantuan ilmu Ushul Fiqih atau Qawaid Fiqhiyyah. Baru, dari sana kita dapat mengeluarkan sebuah hokum, yang hemat saya, lebih objektif dan lebih mewakili.

Hemat saya, sujud atau solat dengan menggunakan sajadah, tikar atau sejenisnya merupakan sesuatu yang diperbolehkan. Dan solatnya tentu sah. Bahkan, pendapat ini sudah merupakan kesepakatan seluruh para ulama (Ijma'), sebagaimana dituturkan oleh Imam Nawawi dalam Syarah nya terhadap Shahih Muslim (5/163), sebagaimana akan saya kutipkan di bawah nanti. Dan saya hanya dapat mengurut dada, ketika dikatakan di atas bahwa sujud yang dahinya tidak menempel ke tanah, maka solatnya tidak sah, semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita semua, amin.

Hemat saya, solat di atas sajadah atau di atas tanah, keduanya sah-sah saja. Termasuk juga sujud yang langsung menempelkan dahinya ke tanah, dengan sujud yang menempelkannya pada sajadah, tikar, permadani, karpet, juga sah-sah saja. Inti sesungguhnya, hemat saya, bukan masalah tanah atau sajadahnya, akan tetapi suci tidaknya tempat solat atau tempat sujud dimaksud. Jika tanah atau sajadah tersebut suci, tentu solatnya pun sah, dan jika ada najisnya, maka solatnya menjadi tidak sah.

Dalil akan bolehnya sujud di atas karpet atau sajadah, sangatlah banyak. Saya akan mengetengahkan di antaranya saja:

Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim disebutkan di bawah ini:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَدَّادٍ قَالَ: سَمِعْتُ خَالَتِي مَيْمُونَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا كَانَتْ تَكُونُ حَائِضًا لَا تُصَلِّي، وَهِيَ مُفْتَرِشَةٌ بِحِذَاءِ مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُصَلِّي عَلَى خُمْرَتِهِ، إِذَا سَجَدَ أَصَابَنِي بَعْضُ ثَوْبِهِ. [رواه البخاري (326) ومسلم (513

Artinya: "Abdullah bin Syaddad berkata: "Saya mendengar bibiku, Maimunah, isteri Rasulullah saw, bahwasannya suatu saat ia dalam keadaan haid, sehingga ia tidak solat. Ia kemudian duduk di halaman masjid Rasulullah saw, sementara Rasulullah saw sedang melakukan solat di atas sajadahnya. Jika beliau sujud, sebagian baju beliau mengenai kepada saya" (HR. Bukhari, hadits nomor 326 dan  Muslim, hadits nomor 513)

Ibnu Hajar al-Asqalany dalam kitabnya, Fathul Bari (1/430) mengatakan: "Kata al-Khumrah—dengan membaca dhammah huruf kha' nya, dan membaca sukun huruf mim nya--, menurut Athabary adalah tikar kecil (sejadah) yang dibuat dari pelapah kurma. Dinamakan demikian, karena alat tersebut dapat menutup muka dan kedua telapak tangan dari panas atau dinginnya tanah. Jika alat tersebut besar, maka disebut dengan hasher (tikar besar).

Pendapat tersebut juga sesuai dengan pendapatnya al-Azhary dalam Tahdzîb nya, dan sahabatnya yang bernama Abu Ubaid al-Harawy serta para ulama setelahnya.

Dalam kitab an-Nihâyah ditambahkan: 'Dinamakan khamrah (tikar kecil), apabila ukurannya seperti itu'. Ia juga berkata: 'Dinamakan khamrah, karena jahitannya (atau anyamannya) tertutup dengan pelapahnya'. Al-Khattabi juga berkata: 'Khamrah dalam istilah sekarang adalah sajadah yang biasa dipakai sebagai tempat sujud bagi orang yang solat'.

Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh para ulama sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar di atas, Imam Nawawi juga menguatkannya. Bahkan, dalam Syarah nya terhadap Shahih Muslim (5/163), Imam Nawawi membuat satu bab berjudul: 'Bab bolehnya solat berjamaah di atas kendaraan, serta bolehnya solat di atas tikar, sajadah dan baju'.

Masih di tempat yang sama, Imam Nawawi—yang merupakan pioneer dalam Madzhab Syafi'i—ketika menjelaskan salah satu hadits, ia berkata: "Hadits tersebut juga menjadi dalil bolehnya solat di atas tikar atau semua bahan yang tumbuh di atas tanah. Dan hal ini sudah merupakan kesepakatan (ijma') seluruh ulama.

Adapun riwayat dari Umar bin Abdul Aziz (yang mengatakan bahwa ia membawa tanah lalu disimpan di atas sajadahnya, lalu ia sujud di atasnya=pent) yang seolah bersebrangan dengan hadits ini, perlu dipahami sebagai anjuran untuk bersikap tawadhu, di antaranya dengan jalan sujud langsung mengenai tanah.

Hadits ini juga mengandung pengertian lainnya bahwa pada hokum asalnya, baju, amparan, tikar, atau yang sejenisnya adalah suci, sampai ada bukti akurat bahwa ia terkena najis'.

Hadits lainnya yang menjadi dalil bolehnya solat atau sujud di atas sajadah, tikar dan sejenisnya adalah:

عنْ جَابِرٍ قال : حَدَّثَنِي أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : فَرَأَيْتُهُ يُصَلِّي عَلَى حَصِيرٍ يَسْجُدُ عَلَيْهِ.قَالَ : وَرَأَيْتُهُ يُصَلِّي فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ مُتَوَشِّحًا بِهِ. [رواه مسلم (519).

Artinya: "Jabir berkata: "Abu Said al-Khudry pernah masuk ke rumah Rasulullah saw. Abu Sa'id berkata: "Aku melihat Rasulullah saw sedang solat di atas tikar, tempat beliau bersujud di atasnya. Abu Said berkata kembali: "Saya melihat Rasulullah saw solat dalam satu baju yang menyelimutinya" (HR. Muslim).

Berkaitan dengan hadits di atas, Imam Nawawi dalam Syarah nya terhadap Shahhih Muslim (4/233, 234) menuturkan: "Matan hadits yang berbunyi: 'Aku melihat Rasulullah saw sedang solat di atas tikar, tempat beliau bersujud di atasnya', menjadi dalil bolehnya solat di atas sesuatu yang dapat menghalangi antara orang yang solat tersebut dengan tanah. Baik sesuatu tersebut berupa baju, tikar, wol, rambut atau selain dari itu, dan baik alas tersebut  terbuat dari sesuatu yang tumbuh di atas tanah ataupun tidak.
Adapun jika alas solat tersebut terbuat dari sesuatu yang tumbuh di atas tanah, maka tidak makruh solat di atasnya. Adapun solat di atas alas yang terbuat bukan dari sesuatu yang tumbuh di atas tanah seperti permadani atau bulu, maka seluruh ulama sepakat (Ijma'), solat di atasnya tetap sah.
Hanya saja, jika ia solat langsung di atas tanah, tentu lebih utama, kecuali karena suatu keperluan mendesak, seperti karena tanah tersebut panas atau dingin atau sejenisnya. Hal ini karena rahasia penting dari solat adalah rasa tawadhu dan kepasrahan, dan Allah tentu lebih mengetahui".

Demikian juga dengan hadits di bawah ini: 

عن أنس بن مالك قال: كنَّا نُصلِّي مع النَّبي صلى الله عليه وسلم فَيَضعُ أحدُنا طرفَ الثوبِ من شدَّة الحرِّ في مكان السجود. [رواه البخاري ومسلم

Artinya: "Anas bin Malik berkata: "Kami solat bersama Rasulullah saw, dan setiap kami meletakkan ujung baju di tempat sujud, karena sangat panas" (HR. Bukhari (hadits nomor 378) dan Muslim (hadits nomor 620).
Imam Bukhari menyimpan hadits di atas dalam bab yang diberinya judul: "Bab: Sujud di atas baju karena sangat panas".

Imam Hasan berkata: "Para sahabat sujud di atas sorban dan penutup kepala, sedangkan kedua tangannya berada di tangan bajunya".
Demikian di antara hadits shahih yang menjadi dalil sah dan bolehnya solat atau sujud di atas sajadah atau sejenisnya.

Kemudian, perlu juga saya sampaikan, bahwa dalil-dalil yang diutarakan dalam pertanyaan di atas, bukan sebagai batasan bahwa sujud itu harus nempel langsung ke tanah, dan jika tidak, maka solatnya tidak sah. Ini hemat saya, tidak tepat.

Dalam penetapan sebuah hukum, kita tidak boleh terjebak hanya dengan melihat satu atau beberapa hadits lain. Tapi kita perlu melihat banyak hadits lainnya, sehingga keputusan hokum yang dihasilkan tidak terkesan literal.

Dalil-dalil yang disampaikan dalam pertanyaan misalnya, memang ada hadits yang mengatakan hal itu. Namun, dalam hadits lainnya, masih dari rawi di atas, justru sebaliknya, melihat Rasulullah saw solat di atas sajadah. Berikut saya kutipkan hadits-hadits dimaksud.

Di atas disampaikan bahwa Sayyidah Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw tidak menyandarkan dahinya selain dengan batu atau tanah. Namun, dalam hadits lain, masih dari Sayyidah Aisyah, Rasulullah saw solat dan sujud di atas tikar atau amparan, dan beliau ketika sujud tidak langsung mengena tanah, akan tetapi mengena tikar atau penghalang dimaksud. Ini artinya bahwa, hadits yang disampaikan dalam pertanyaan, bukan sebagai batasan, hanya saja menjelaskan bahwa Rasulullah saw terkadang sujud langsung mengena tanah, dan terkadang memakai tikar atau amparan.

Hadits dimaksud adalah sebagai berikut:

عَنْ عَائِشَةَ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهِيَ مُعْتَرِضَةٌ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ عَلَى فِرَاشِ أَهْلِهِ اعْتِرَاضَ الْجِنَازَةِ } وَفِي لَفْظٍ عَنْ عِرَاكٍ عَنْ عُرْوَةَ " { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَعَائِشَةُ مُعْتَرِضَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ عَلَى الْفِرَاشِ الَّذِي يَنَامَانِ عَلَيْهِ } [أخرجه البخاري

Artinya: "Dari Aisyah, adalah Rasulullah saw beliau pernah solat di atas kasur (tikar, ampar) keluarganya, sedangkan Aisyah terlentang seperti mayat, di antara Rasulullah saw dan arah kiblat". Dalam riwayat dari 'Irak dari Urwah, bahwasannya Rasulullah saw solat di atas kasur yang biasa dipakai tidur oleh Rasulullah dan Aisyah, sementara Aisyah terlentang di antara beliau dengan kiblat" (HR. Bukhari).

Demikian juga dengan hadits dari Abu Sa'id al-Khudri yang disampaikan dalam pertanyaan. Ternyata banyak hadits dari Abu Sa'id al-Khudry sendiri yang menjelaskan akan bolehnya solat dan sujud di atas sajadah atau sejenisnya. Hadits dimaksud adalah:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخدري : أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : فَرَأَيْته يُصَلِّي عَلَى حَصِيرٍ يَسْجُدُ عَلَيْهِ  [رواه مسلم
Artinya:"Dari Abu Said al-Khudry, bahwasannya ia masuk ke Rasulullah saw. Abu Said berkata kembali: "Saya melihat Rasulullah saw solat di atas tikar dan beliau sujud di atasnya' (HR. Muslim).

Demikian juga dengan riwayat Ibnu Abbas. Dalam riwayat lain disebutkan:

وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ  أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَى بِسَاطٍ  [رَوَاهُ أَحْمَد وَابْنُ ماجه

Artinya: "Dari Ibnu Abbas, bahwasannya Rasulullah saw solat di atas tikar" (HR. Ahmad dan Ibn Majah).

Dari sini semua nampak, sekali lagi, bahwa hadits-hadits yang diutarakan dalam pertanyaan, bukan sebagai batasan, bahwa sujud harus terkena dengan tanah langsung, akan tetapi sebagai pilihan, dan penjelasan, bahwa boleh juga kita sujud langsung di atas tanah (bahkan, sebagian ulama, termasuk Ibnu Tamiyyah berpendapat solat atau sujud langsung di atas tanah lebih baik dari pada di atas sajadah dan sejenisnya). Hadits di atas juga sekaligus menjadi dalil bolehnya solat atau sujud di atas sajadah atau sejenisnya.

Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (3/234) mengatakan: "Tidak mengapa solat di atas tikar, permadani yang terbuat dari wol, rambut, bulu, atau baju yang terbuat dari kapas, kain atau semua benda suci lainnya. Hal ini karena Umar pernah solat di atas hamparan, Ibnu Abbas solat di atas permadani, Zaid bin Tsabit, dan Jabir solat di atas tikar, Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud dan Anas solat di atas tikar yang ditenun. Pendapat ini adalah pendapatnya seluruh ulama. Hanya saja, ada satu riwayat yang dinisbahkan kepada Jabir bahwasannya ia membenci (memakruhkan) solat di atas tikar yang terbuat dari hewan, dan dianjurkan solat di atas tikar yang terbuat dari tanaman".

Sedangkan ucapan Imam Syafi'i yang disampaikan oleh penanya di atas, bukan sebagai pendapat tidak bolehnya solat di atas karpet atau sajadah. Ucapan Imam Syafi'i di atas adalah pendapat bahwa ketika sujud, jangan sampai ada penghalang antara dahi dengan tempat sujudnya, baik tempat sujudnya itu tanah atau karpet. Karena itu, dalam madzhab Syafi'i, orang yang ketika sujudnya ada penghalang antara dahi dan tempat sujudnya, maka solatnya dinilai tidak sah. Sedangkan menurut jumhur ulama hanya makruh saja.

Karena itulah Ibnu Taimiyyah dalam Majmu' Fatawa (22/174) nya mengatakan: 'Tidak ada perbedaan di kalangan para ulama tentang bolehnya solat dan sujud di atas tikar (karpet atau permadani) jika alas tersebut berasal dari tanah (tanamann yang tumbuh di atas tanah), seperti tikar dan sejenisnya.

Para ulama berbeda pendapat tentang makruh tidaknya solat di atas tikar yang terbuat bukan dari yang tumbuh di atas tanah, seperti dari kulit hewan, bulu wol dan sejenisnya. Sebagian besar ulama memberikan keringanan juga (membolehkan juga) untuk semua itu. Dan ini merupakan madzhabnya para ahli hadits, seperti Imam Syafi'i, Imam Ahamd, dan juga madzhabnya ulama Kufah, seperti Abu Hanifah dan lainnya.
Mereka, di antaranya, berdalil dengan hadits dari Aisyah tentang solatnya Rasulullah di atas firâsy (kasur atau tikar). Dan kata firâsy (tikar) tersebut terbuat bukan dari yang berasal dari tanah, akan tetapi dari kulit dan dari wol".  

Demikian, semoga jelas, wallahu a'lam bis shawab.

Wassalam