Assalamualaikum
Apakah sah menaruh dahi di atas sajadah ketika kita 
sujud dalam solat kita ...??
Kesaksian Sahabat tentang bagaimana 
sujudnya Rasulullah SAW: 
1. Al-Wâil bin Hajar berkata: "Aku melihat 
Rasulullâh Saw, apabila beliau bersujud, beliau meletakkan dahi dan 
hidungnya di atas tanah".
2. Ibnu 'Abbâs berkata: "Sesungguhnya Nabi 
Saw pernah melakukan sujud di atas batu".
3. 'Âisya berkata: "Aku 
tidak pernah melihat Rasulullâh Saw menyandarkan wajahnya (dahinya) 
ketika shalât dengan sesuatu apa pun, selain di atas batu atau tanah, 
ketika beliau melakukan sujud". 
Dengan riwayat ketiga ini, jelaslah 
bagi kita dengan kesaksian istri beliau sendiri bahwa sesungguhnya 
beliau melakukan sujud di atas tanah dan menyandarkan dahi beliau yang 
mulia di atas tanah.
4. Abû Sa'îd al-Khudrî berkata: "Aku melihat 
Rasulullâh Saw pada dahinya terdapat bekas-bekas tanah dan air".
5. 
Abu Hurairah berkata: "Aku melihat Rasullah Saw melakukan sujud pada 
hari turun hujan dan pada dahi beliau terdapat bekas-bekas tanah".
Muhammad
 bin Idris yang lebih dikenal dengan nama Imâm Syâfi'î di dalam kitabnya
 yang terkenal yaitu al-Umm, beliau mengatakan bahwa: "Apabila seseorang
 sujud dan dahinya sama sekali tidak menyentuh tanah, maka sujudnya 
dianggap tidak sah. Tetapi jika seseorang sujud dan bagian dahinya 
menyentuh tanah, maka sujudnya dianggap cukup dan sah, Insya Allâh".
Awal
 mula bid’ah Sajadah masuk Masjid :
1. Al-Ghazâlî dalam kitabnya Ihyâ
 'Ulumûddîn berkata: "Sesungguhnya ketika itu perbuatan menghampari 
masjid Nabawi dengan bawari atau tikar dianggap sebagai perbuatan bid'ah
 dan ada yang mengatakan bahwa hal itu dilakukan oleh Hajjâj bin Yusuf. 
Sebelum itu orang-orang tidak menempatkan sesuatu penghalang antara 
dahi-dahi mereka dengan tanah ketika mereka sujud".
2. Qatâdah 
berkata bahwa ia melakukan sujud kemudian kedua matanya tertusuk oleh 
bagian tikar itu hingga ia menjadi buta, ia berkata: "Semoga Allâh 
melaknat Hajjâj. Ia telah membuat bid'ah dengan menghampari masjid ini 
dengan Bawari (sejenis tikar)".
3. 'Umar bin 'Abdul 'Azîz pernah 
menulis surat kepada 'Udaî bin Artâh. Ia berkata: "Telah sampai berita 
kepadaku bahwa engkau telah mengerjakan sunnahnya Hajjâj. Aku nasihatkan
 janganlah engkau mengerjakan sunnah tersebut karena sesungguhnya ia 
salât tidak pada waktunya. Ia pun mengambil zakât bukan dari orang yang 
berhaq diambil zakâtnya dan ketika ia melakukan hal itu, ia telah 
membuat kerosakan".
Kapan Sajadah dikenal (secara umum)
Masjid-masjid
 hingga pada zaman khalîfah yang empat tetap tidak dihampari dengan 
permadani, bukan pula karena mereka tidak punya ide dan keinginan untuk 
itu.
Akan tetapi karena hal itu dilarang oleh syari'at Islâm dan 
tidak boleh sujud ketika salat kecuali di atas tanah secara langsung. 
Dan demi menjaga syariat Islâm serta menganggap bahwa sujud di atas 
karpet atau permadani itu adalah termasuk bid'ah.
Oleh karena itu, 
ketika terik panas para sahabat Nabi Saw - sebagaimana dalam 
riwayat-riwayat – menggengam batu-batu kecil agar menjadi dingin dan 
mereka jadikan sebagai alas sujud. As-Sakhâwi berkata: "Sesungguhnya 
masjid-masjid sampai pada tahun 131 Hijriah atau 132 Hijriah masih tetap
 menggunakan tanah atau batu-batu kecil".
Sehubungan dengan masalah 
sajadah dapat kita ketahui secara jelas dengan merujuk pada ensiklopedia
 Islâm (di dalam kitab itu disebutkan bahwa: "Istilah sajadah tidak 
ditemukan di dalam kitab suci Al-Qur'ân dan hadits-hadits yang sahih. 
Kata sajadah ini dapat dijumpai satu abad setelah penulisan 
hadits-hadits tersebut".
Ibnu Batutah mengatakan di dalam kitabnya 
Rihlah Ibnu Batutah berkata: "Orang-orang pinggiran kota Kairo Mesir 
telah terbiasa keluar rumah mereka untuk pergi melakukan shalât Jum'at. 
Para pembantu mereka biasanya membawakan sajadah dan menghamparinya 
untuk keperluan salât mereka. Sajadah mereka itu terbuat dari 
pelepah-pelepah daun korma".
Dia menambahkan: "Penduduk kota Mekkah 
pada masa ini (pada masanya Ibnu Batutah) melakukan solat di Masjid 
Jâmi' dengan menggunakan sajadah. Kaum muslimin yang pulang haji banyak 
membawa sajadah buatan Eropa yang bergambar (ada yang bergambar salib) 
dan mereka tidak memperhatikan gambar tersebut. Sajadah masuk ke Mesir 
dengan jalan impor dari Asia untuk dipakai salat oleh orang-orang kaya, 
di dalam sajadah itu terdapat gambar mihrab yang mengarah ke kiblat. 
Syaikh
 Murtadâ Az-Zubaîdî di dalam kitabnya Ittihaful Muttaqin berkata: 
"Musallî hendaknya tidak melakukan solat di atas sajadah atau permadani
 yang bergambar dan dihiasi dengan beragam gambar yang menarik. Karena 
hal itu membuat si musâlli tidak khusyu' di dalam solatnya, karena 
perhatiannya akan tertuju pada warna-warni sajadah itu. Kita telah 
tertimpa bencana dengan permadani-permadani Romawi itu yang kini digelar
 di masjid-masjid dan rumah-rumah yang dipakai untuk shalât, sehingga 
kebiasaan bid'ah itu telah membuat orang yang melakukan salat di tempat 
lainnya dianggap tidak sah dan kurang sopan". Lâ Hawla wa lâ Quwwata 
îllâ Billâh.
Kuat dugaan bahwa semua ini adalah akibat ulah dan 
perbuatan orang-orang Barat – semoga Allah mengutuk mereka – yang telah 
memasukkan sesuatu ke dalam kalangan kaum muslimin sedang mereka lalai 
dan lengah dari tipu daya musuh-musuh tersebut. Lebih aneh lagi, aku 
(syaikh Murtada.. pen) pernah melihat di sebuah masjid yang berhamparkan
 permadani, namun permadani itu memiliki gambar salib. Hal inilah yang 
membuatku semakin terkejut. Aku yakin bahwa semua ini adalah perbuatan 
dan tipu-daya orang-orang Nasrani".
Jadi jelaslah bahwa meletakkan 
dahi di atas tanah ketika solat merupakan kewajiban yang tidak bisa 
ditawar-tawar ketika tidak ada halangan. Dan sujud di dalam syari'at 
Islâm tidaklah sah dan tidak dapat dinamakan sujud apabila dahinya itu 
tidak menyentuh tanah secara langsung.
LALU BAGAIMANA DENGAN 
SUJUD-SUJUD YANG SELAMA INI SAYA LAKUKAN SEBAB KITA SELALU  MEMAKAI  
SAJADAH.?
Wassalam, 
Muhammad Furqan, Kemayoran, Jakarta
JAWABAN
Wa'alaikum salam wr.wb. 
Terima kasih ustadz Furqan atas pertanyaannya. Jazakumullah khairal 
jazaa. Selintas apabila kita memperhatikan hadits-hadits dan argument di
 atas nampak seolah membenarkan anggapan itu bahwa sujud harus di atas 
tanah, tidak boleh dihalangi oleh penghalang lainnya, termasuk sajadah 
atau tikar. 
Namun, tentu untuk menetapkan sebuah hukum kita tidak boleh hanya 
melihat satu pihak atau beberapa hadits saja. Kita harus berupaya 
membaca semua hadits yang berkaitan dengan itu, termasuk bantuan 
pendapat para ulama akan hal itu, kemudian mengkajinya dengan bantuan 
ilmu Ushul Fiqih atau Qawaid Fiqhiyyah. Baru, dari sana kita dapat 
mengeluarkan sebuah hokum, yang hemat saya, lebih objektif dan lebih 
mewakili.
Hemat saya, sujud atau solat dengan menggunakan sajadah, tikar atau 
sejenisnya merupakan sesuatu yang diperbolehkan. Dan solatnya tentu 
sah. Bahkan, pendapat ini sudah merupakan kesepakatan seluruh para ulama
 (Ijma'), sebagaimana dituturkan oleh Imam Nawawi dalam Syarah nya 
terhadap Shahih Muslim (5/163), sebagaimana akan saya kutipkan di bawah
 nanti. Dan saya hanya dapat mengurut dada, ketika dikatakan di atas 
bahwa sujud yang dahinya tidak menempel ke tanah, maka solatnya tidak 
sah, semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita semua, amin.
Hemat saya, solat di atas sajadah atau di atas tanah, keduanya sah-sah 
saja. Termasuk juga sujud yang langsung menempelkan dahinya ke tanah, 
dengan sujud yang menempelkannya pada sajadah, tikar, permadani, karpet,
 juga sah-sah saja. Inti sesungguhnya, hemat saya, bukan masalah tanah 
atau sajadahnya, akan tetapi suci tidaknya tempat solat atau tempat 
sujud dimaksud. Jika tanah atau sajadah tersebut suci, tentu solatnya 
pun sah, dan jika ada najisnya, maka solatnya menjadi tidak sah.
Dalil akan bolehnya sujud di atas karpet atau sajadah, sangatlah banyak. Saya akan mengetengahkan di antaranya saja:
Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim disebutkan di bawah ini:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَدَّادٍ قَالَ: سَمِعْتُ خَالَتِي مَيْمُونَةَ 
زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا كَانَتْ 
تَكُونُ حَائِضًا لَا تُصَلِّي، وَهِيَ مُفْتَرِشَةٌ بِحِذَاءِ مَسْجِدِ 
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُصَلِّي عَلَى 
خُمْرَتِهِ، إِذَا سَجَدَ أَصَابَنِي بَعْضُ ثَوْبِهِ. [رواه البخاري (326)
 ومسلم (513
Artinya: "Abdullah bin Syaddad berkata: "Saya mendengar bibiku, 
Maimunah, isteri Rasulullah saw, bahwasannya suatu saat ia dalam keadaan
 haid, sehingga ia tidak solat. Ia kemudian duduk di halaman masjid 
Rasulullah saw, sementara Rasulullah saw sedang melakukan solat di atas
 sajadahnya. Jika beliau sujud, sebagian baju beliau mengenai kepada 
saya" (HR. Bukhari, hadits nomor 326 dan  Muslim, hadits nomor 513)
Ibnu Hajar al-Asqalany dalam kitabnya, Fathul Bari (1/430) mengatakan: 
"Kata al-Khumrah—dengan membaca dhammah huruf kha' nya, dan membaca 
sukun huruf mim nya--, menurut Athabary adalah tikar kecil (sejadah) 
yang dibuat dari pelapah kurma. Dinamakan demikian, karena alat tersebut
 dapat menutup muka dan kedua telapak tangan dari panas atau dinginnya 
tanah. Jika alat tersebut besar, maka disebut dengan hasher (tikar 
besar). 
Pendapat tersebut juga sesuai dengan pendapatnya al-Azhary dalam Tahdzîb
 nya, dan sahabatnya yang bernama Abu Ubaid al-Harawy serta para ulama 
setelahnya.
Dalam kitab an-Nihâyah ditambahkan: 'Dinamakan khamrah (tikar kecil), 
apabila ukurannya seperti itu'. Ia juga berkata: 'Dinamakan khamrah, 
karena jahitannya (atau anyamannya) tertutup dengan pelapahnya'. 
Al-Khattabi juga berkata: 'Khamrah dalam istilah sekarang adalah sajadah
 yang biasa dipakai sebagai tempat sujud bagi orang yang solat'. 
Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh para ulama sebagaimana dikutip 
oleh Ibnu Hajar di atas, Imam Nawawi juga menguatkannya. Bahkan, dalam 
Syarah nya terhadap Shahih Muslim (5/163), Imam Nawawi membuat satu bab 
berjudul: 'Bab bolehnya solat berjamaah di atas kendaraan, serta 
bolehnya solat di atas tikar, sajadah dan baju'. 
Masih di tempat yang sama, Imam Nawawi—yang merupakan pioneer dalam 
Madzhab Syafi'i—ketika menjelaskan salah satu hadits, ia berkata: 
"Hadits tersebut juga menjadi dalil bolehnya solat di atas tikar atau 
semua bahan yang tumbuh di atas tanah. Dan hal ini sudah merupakan 
kesepakatan (ijma') seluruh ulama. 
Adapun riwayat dari Umar bin Abdul Aziz (yang mengatakan bahwa ia 
membawa tanah lalu disimpan di atas sajadahnya, lalu ia sujud di 
atasnya=pent) yang seolah bersebrangan dengan hadits ini, perlu dipahami
 sebagai anjuran untuk bersikap tawadhu, di antaranya dengan jalan sujud
 langsung mengenai tanah. 
Hadits ini juga mengandung pengertian lainnya bahwa pada hokum asalnya, 
baju, amparan, tikar, atau yang sejenisnya adalah suci, sampai ada bukti
 akurat bahwa ia terkena najis'. 
Hadits lainnya yang menjadi dalil bolehnya solat atau sujud di atas sajadah, tikar dan sejenisnya adalah: 
عنْ جَابِرٍ قال : حَدَّثَنِي أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ أَنَّهُ دَخَلَ 
عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : فَرَأَيْتُهُ 
يُصَلِّي عَلَى حَصِيرٍ يَسْجُدُ عَلَيْهِ.قَالَ : وَرَأَيْتُهُ يُصَلِّي 
فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ مُتَوَشِّحًا بِهِ. [رواه مسلم (519).
Artinya: "Jabir berkata: "Abu Said al-Khudry pernah masuk ke rumah 
Rasulullah saw. Abu Sa'id berkata: "Aku melihat Rasulullah saw sedang solat di atas tikar, tempat beliau bersujud di atasnya. Abu Said 
berkata kembali: "Saya melihat Rasulullah saw solat dalam satu baju 
yang menyelimutinya" (HR. Muslim).
Berkaitan dengan hadits di atas, Imam Nawawi dalam Syarah nya terhadap 
Shahhih Muslim (4/233, 234) menuturkan: "Matan hadits yang berbunyi: 
'Aku melihat Rasulullah saw sedang solat di atas tikar, tempat beliau 
bersujud di atasnya', menjadi dalil bolehnya solat di atas sesuatu yang
 dapat menghalangi antara orang yang solat tersebut dengan tanah. Baik 
sesuatu tersebut berupa baju, tikar, wol, rambut atau selain dari itu, 
dan baik alas tersebut  terbuat dari sesuatu yang tumbuh di atas tanah 
ataupun tidak. 
Adapun jika alas solat tersebut terbuat dari sesuatu yang tumbuh di 
atas tanah, maka tidak makruh solat di atasnya. Adapun solat di atas 
alas yang terbuat bukan dari sesuatu yang tumbuh di atas tanah seperti 
permadani atau bulu, maka seluruh ulama sepakat (Ijma'), solat di 
atasnya tetap sah. 
Hanya saja, jika ia solat langsung di atas tanah, tentu lebih utama, 
kecuali karena suatu keperluan mendesak, seperti karena tanah tersebut 
panas atau dingin atau sejenisnya. Hal ini karena rahasia penting dari solat adalah rasa tawadhu dan kepasrahan, dan Allah tentu lebih 
mengetahui".
Demikian juga dengan hadits di bawah ini:  
عن أنس بن مالك قال: كنَّا نُصلِّي مع النَّبي صلى الله عليه وسلم فَيَضعُ 
أحدُنا طرفَ الثوبِ من شدَّة الحرِّ في مكان السجود. [رواه البخاري ومسلم
Artinya: "Anas bin Malik berkata: "Kami solat bersama Rasulullah saw, 
dan setiap kami meletakkan ujung baju di tempat sujud, karena sangat 
panas" (HR. Bukhari (hadits nomor 378) dan Muslim (hadits nomor 620). 
Imam Bukhari menyimpan hadits di atas dalam bab yang diberinya judul: "Bab: Sujud di atas baju karena sangat panas". 
Imam Hasan berkata: "Para sahabat sujud di atas sorban dan penutup kepala, sedangkan kedua tangannya berada di tangan bajunya". 
Demikian di antara hadits shahih yang menjadi dalil sah dan bolehnya solat atau sujud di atas sajadah atau sejenisnya. 
Kemudian, perlu juga saya sampaikan, bahwa dalil-dalil yang diutarakan 
dalam pertanyaan di atas, bukan sebagai batasan bahwa sujud itu harus 
nempel langsung ke tanah, dan jika tidak, maka solatnya tidak sah. Ini 
hemat saya, tidak tepat. 
Dalam penetapan sebuah hukum, kita tidak boleh terjebak hanya dengan 
melihat satu atau beberapa hadits lain. Tapi kita perlu melihat banyak 
hadits lainnya, sehingga keputusan hokum yang dihasilkan tidak terkesan 
literal. 
Dalil-dalil yang disampaikan dalam pertanyaan misalnya, memang ada 
hadits yang mengatakan hal itu. Namun, dalam hadits lainnya, masih dari 
rawi di atas, justru sebaliknya, melihat Rasulullah saw solat di atas 
sajadah. Berikut saya kutipkan hadits-hadits dimaksud. 
Di atas disampaikan bahwa Sayyidah Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah 
saw tidak menyandarkan dahinya selain dengan batu atau tanah. Namun, 
dalam hadits lain, masih dari Sayyidah Aisyah, Rasulullah saw solat dan
 sujud di atas tikar atau amparan, dan beliau ketika sujud tidak 
langsung mengena tanah, akan tetapi mengena tikar atau penghalang 
dimaksud. Ini artinya bahwa, hadits yang disampaikan dalam pertanyaan, 
bukan sebagai batasan, hanya saja menjelaskan bahwa Rasulullah saw 
terkadang sujud langsung mengena tanah, dan terkadang memakai tikar atau
 amparan. 
Hadits dimaksud adalah sebagai berikut: 
عَنْ عَائِشَةَ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
 كَانَ يُصَلِّي وَهِيَ مُعْتَرِضَةٌ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ
 عَلَى فِرَاشِ أَهْلِهِ اعْتِرَاضَ الْجِنَازَةِ } وَفِي لَفْظٍ عَنْ 
عِرَاكٍ عَنْ عُرْوَةَ " { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ 
وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَعَائِشَةُ مُعْتَرِضَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ 
الْقِبْلَةِ عَلَى الْفِرَاشِ الَّذِي يَنَامَانِ عَلَيْهِ } [أخرجه 
البخاري
Artinya: "Dari Aisyah, adalah Rasulullah saw beliau pernah solat di 
atas kasur (tikar, ampar) keluarganya, sedangkan Aisyah terlentang 
seperti mayat, di antara Rasulullah saw dan arah kiblat". Dalam riwayat 
dari 'Irak dari Urwah, bahwasannya Rasulullah saw solat di atas kasur 
yang biasa dipakai tidur oleh Rasulullah dan Aisyah, sementara Aisyah 
terlentang di antara beliau dengan kiblat" (HR. Bukhari). 
Demikian juga dengan hadits dari Abu Sa'id al-Khudri yang disampaikan 
dalam pertanyaan. Ternyata banyak hadits dari Abu Sa'id al-Khudry 
sendiri yang menjelaskan akan bolehnya solat dan sujud di atas sajadah 
atau sejenisnya. Hadits dimaksud adalah: 
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخدري : أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى 
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : فَرَأَيْته يُصَلِّي عَلَى حَصِيرٍ 
يَسْجُدُ عَلَيْهِ  [رواه مسلم
Artinya:"Dari Abu Said al-Khudry, bahwasannya ia masuk ke Rasulullah 
saw. Abu Said berkata kembali: "Saya melihat Rasulullah saw solat di 
atas tikar dan beliau sujud di atasnya' (HR. Muslim). 
Demikian juga dengan riwayat Ibnu Abbas. Dalam riwayat lain disebutkan: 
وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ  أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَى بِسَاطٍ  [رَوَاهُ أَحْمَد وَابْنُ ماجه
Artinya: "Dari Ibnu Abbas, bahwasannya Rasulullah saw solat di atas tikar" (HR. Ahmad dan Ibn Majah). 
Dari sini semua nampak, sekali lagi, bahwa hadits-hadits yang 
diutarakan dalam pertanyaan, bukan sebagai batasan, bahwa sujud harus 
terkena dengan tanah langsung, akan tetapi sebagai pilihan, dan 
penjelasan, bahwa boleh juga kita sujud langsung di atas tanah (bahkan, 
sebagian ulama, termasuk Ibnu Tamiyyah berpendapat solat atau sujud 
langsung di atas tanah lebih baik dari pada di atas sajadah dan 
sejenisnya). Hadits di atas juga sekaligus menjadi dalil bolehnya solat
 atau sujud di atas sajadah atau sejenisnya.
Ibnu Qudamah dalam 
al-Mughni (3/234) mengatakan: "Tidak mengapa solat di atas tikar, 
permadani yang terbuat dari wol, rambut, bulu, atau baju yang terbuat 
dari kapas, kain atau semua benda suci lainnya. Hal ini karena Umar 
pernah solat di atas hamparan, Ibnu Abbas solat di atas permadani, 
Zaid bin Tsabit, dan Jabir solat di atas tikar, Ali, Ibnu Abbas, Ibnu 
Mas'ud dan Anas solat di atas tikar yang ditenun. Pendapat ini adalah 
pendapatnya seluruh ulama. Hanya saja, ada satu riwayat yang dinisbahkan
 kepada Jabir bahwasannya ia membenci (memakruhkan) solat di atas tikar
 yang terbuat dari hewan, dan dianjurkan solat di atas tikar yang 
terbuat dari tanaman". 
Sedangkan ucapan Imam Syafi'i yang disampaikan oleh penanya di atas, 
bukan sebagai pendapat tidak bolehnya solat di atas karpet atau 
sajadah. Ucapan Imam Syafi'i di atas adalah pendapat bahwa ketika sujud,
 jangan sampai ada penghalang antara dahi dengan tempat sujudnya, baik 
tempat sujudnya itu tanah atau karpet. Karena itu, dalam madzhab 
Syafi'i, orang yang ketika sujudnya ada penghalang antara dahi dan 
tempat sujudnya, maka solatnya dinilai tidak sah. Sedangkan menurut 
jumhur ulama hanya makruh saja. 
Karena itulah Ibnu Taimiyyah dalam Majmu' Fatawa (22/174) nya 
mengatakan: 'Tidak ada perbedaan di kalangan para ulama tentang bolehnya solat dan sujud di atas tikar (karpet atau permadani) jika alas 
tersebut berasal dari tanah (tanamann yang tumbuh di atas tanah), 
seperti tikar dan sejenisnya. 
Para ulama berbeda pendapat tentang makruh tidaknya solat di atas tikar
 yang terbuat bukan dari yang tumbuh di atas tanah, seperti dari kulit 
hewan, bulu wol dan sejenisnya. Sebagian besar ulama memberikan 
keringanan juga (membolehkan juga) untuk semua itu. Dan ini merupakan 
madzhabnya para ahli hadits, seperti Imam Syafi'i, Imam Ahamd, dan juga 
madzhabnya ulama Kufah, seperti Abu Hanifah dan lainnya. 
Mereka, di antaranya, berdalil dengan hadits dari Aisyah tentang solatnya Rasulullah di atas firâsy (kasur atau tikar). Dan kata firâsy 
(tikar) tersebut terbuat bukan dari yang berasal dari tanah, akan tetapi
 dari kulit dan dari wol".   
Demikian, semoga jelas, wallahu a'lam bis shawab. 
Wassalam