DITERJANG tatapan mata puluhan pengunjung, Sundarti Supriyanto, 22 tahun, kelihatan cantik. Tahi lalat sebesar butir beras di bawah mata kanannya tampak menonjol ketika perempuan asal Magetan, Jawa Timur, ini sedang menebarkan senyum. Tubuhnya dibalut dengan blazer warna cokelat dan rambutnya diikat dengan seutas karet merah. Dengan ringan kakinya mengayunkan langkah melintasi hamparan karpet merah, memasuki sebuah ruangan 12x10 meter.
Ia bukan seorang ratu, tapi beberapa polisi wanita Singapura menempelnya ketat. Rabu siang pekan lalu itu, Sundarti sedang menghadapi sidang penting di High Court No.9, negeri tetangga itu. Dia didakwa membunuh seorang majikan perempuan dan anaknya, dengan ancaman hukuman mati.
Tak terbayangkan betapa cemasnya hati ibunya, Nyonya Binarti, 50 tahun, yang hari itu duduk di kursi pengunjung. "Saya terus puasa senin kamis, mendoakan agar anak saya terhindari dari hukuman. Saya hanya bisa pasrah, walaupun saya yakin anak saya enggak bersalah,'' katanya kepada TEMPO. Binarti berada di Negeri Goh Chok Tong sejak sepekan sebelumnya. Ia sengaja diundang dan ditampung oleh Kedutaan Besar Indonesia agar bisa mengikuti persidangan anaknya.
Sang anak menginjakkan kakinya di Singapura pada 1999. Segalanya berjalan lancar sampai akhirnya ia memutuskan untuk pindah ke majikan baru bernama Ng Wee Peng Angie, 33 tahun, pada awal Mei tahun lalu. Di sini Sundarti bertugas mengasuh dua anak majikannya, Poh Si Qi, seorang bocah perempuan berusia 3 tahun, dan seorang anak laki-laki berusia setahun lebih. Baru kira-kira tiga pekan bekerja di tempat Angie, sang pembantu terlibat dalam pertikaian dengan majikannya. Ujungnya, seperti dituduhkan oleh jaksa, Sundarti dinilai telah membakar kantor majikannya, yang membuat Nyonya Angie dan anaknya, Poh Si Qi, tewas.
Kisahnya, seperti yang ditulis Sundarti dalam sebuah suratnya, sungguh seram, bagaikan adegan dalam sebuah film thriller. Pertikaian itu terjadi pada suatu malam di kantor Angie di kawasan Bukit Merah, akhir Mei tahun lalu. Malam itu, sekitar pukul 20.00, Sundarti sedang mengasuh dua anak majikannya saat Angie masih sibuk bekerja di kantornya. Karena dua bocah itu rewel, akhirnya si majikan turun tangan. Angie sendiri yang akhirnya menyuapi Poh, anak perempuannya. Sedangkan adiknya diurus Sundarti.
Keributan pecah saat bocah laki-laki yang diurus Sundarti tidak mau disuapi bubur. Angie pun marah sambil memukuli anak itu dengan rotan. Si pembantu juga kebagian "hadiah". Rambut Sundarti dijambak oleh Angie disertai omelan. ''Kamu sudah tiga minggu ikut saya tapi kerjaan kamu cuma duduk dan makan saja, nggak becus,'' cerocos si majikan seperti dituturkan oleh Sundarti.
Madam Angie, begitulah Sundarti memanggilnya, terus marah-marah. Tiba-tiba sendok suapan bayi ditusukkan ke kuping pembantunya. Ia juga menjejalkan kotoran bayi ke mulut Sundarti. "Sudah tiga kali saya disuruh makan berak anaknya. Di rumah saja terjadi dua kali," tulis Sundarti dalam suratnya. Karena kehausan, akhirnya sang pembantu pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Tapi, saat menuangkan air panas, Angie sudah berada di belakang, dan menyiramkan air ke tangan kirinya.
Gara-gara air panas itulah, masih menurut Sundarti, pertikaian kian panas. Sang pembantu buru-buru menyandera Poh, salah satu anak majikannya, dengan todongan pisau dapur. Tapi, tak lama kemudian, si kecil berontak dan berhasil lari ke ibunya. Keadaan berbalik. Angie akhirnya berhasil pula menangkap Sundarti dan membenturkan kepalanya ke tembok. Hanya, orang Magetan ini tak mau kalah. Dia gigit tangan majikannya sekuat tenaga. Sang majikan kewalahan, dan Sundarti pun terlepas. Saat itu si pembantu tidak melarikan diri, tapi malah menyandera dua bocah asuhannya dengan dua pisau di tangan.
Gertakan maut lalu dilontarkan Sundarti sambil menyodorkan sebuah pisau kecil. Ia menyuruh majikannya memotong tangannya sendiri dalam hitungan ketiga. "Kalau tidak, dua anak ini saya bunuh," kata Sundarti. Angie akhirnya mengiris tangan kirinya, darah muncrat dari nadinya. Beberapa saat kemudian, sang majikan mengamuk dengan melempar pesawat telepon. Ia juga menyiramkan lagi air panas ke pembantunya. Dan ketika mendapat kesempatan menyerang, Angie menusukkan pisau ke arah Sundarti. Tapi, menurut sang pembantu, yang kena justru anak perempuannya. ''Saat itu, Nyonya seperti singa, mukanya merah, matanya mau keluar," kata Sundarti.
Dalam keadaan terpojok, sang Nyonya hanya bisa memelas agar Sundarti tidak membunuh anak laki-lakinya. Jawaban si pembantu? Dia meminta majikannya menusuk dirinya sendiri. Agar anaknya tak dibunuh, Angie menuruti keinginan Sundarti. Ia berbaring dan menusukkan pisau kecil ke lehernya. ''Saya mati..., saya mati,'' teriaknya. Giliran Sundarti yang panik. Apalagi bocah laki-laki yang dekapnya menangis menjadi-jadi. Dia buru-buru mengambil uang milik majikannya, lalu pergi naik taksi dan membeli bensin.
Kembali lagi ke kantor, Sundarti menuangkan bensin ke sudut-sudut ruangan lalu menyalakan korek api, membakar seluruh ruangan itu. ''Saya pikir, lebih baik saya mati, karena polisi juga akan menangkap saya,"katanya. Saat api menyala, ada juga rasa ketakutan. Bayi yang dipegang lepas, menuju titik api. Sundarti berusaha menyelamatkan bayi itu, kakinya kena api, pikirannya mulai sadar. Pintu kaca yang berada di kantor itu dipecahkan dengan kursi. Sundarti dan bayi laki-laki itu menerobos api, dan selamat karena polisi dan pemadam kebakaran sudah datang.
Drama tragis yang dituturkan Sundarti itu kini berakhir di pengadilan. Berdasarkan Undang-Undang Pidana Singapura, seseorang yang terbukti melakukan pembunuhan dijerat pasal 302 dengan ancaman hukuman mati. Sidang Rabu pekan lalu merupakan sidang kedelapan. Sudah 50 orang dari 73 orang saksi yang didaftar dihadirkan. Beberapa kali hakim yang memimpin sidang, M.P. Haja Rubin, bertanya terjemahan dari bahasa Indonesia ke Inggris. Soalnya pengacara Sundarti, Mohamed Muzammil, memprotes adanya salah interpretasi dari pengakuan Sundarti dalam dakwaan jaksa.
Sopir taksi, Haron Hasyim, yang menjadi saksi di pengadilan pekan lalu, hanya melihat seorang pembantu warga negara Indonesia membawa lima liter bahan bakar yang dibelinya dari sebuah pompa bensin. "Saya akan berusaha agar dakwaan jaksa tak terbukti, karena Sundarti tidak membunuh kedua orang itu,"kata Muzammil. Muzammil berharap, pemerintah Indonesia bisa seperti pemerintah Filipina, yang bisa membebaskan Sarah Balabagan dari ancaman hukuman mati di Uni Emirat Arab, beberapa tahun silam. "Kalau pemerintah Indonesia ikut campur, eloklah," ujarnya.
Menurut Muzammil, kasus ini sangat pelik. Walaupun Sundarti mengaku membakar kantor, bukan berarti dia membunuh. Sebab, kata Muzammil, dalam laporan polisi disebutkan ada orang lain yang diduga membunuh saat kebakaran terjadi. Memang, dari 50 orang saksi, belum ditemukan bukti kuat Sundarti yang membunuh majikan dan anaknya.
Menteri Tenaga Kerja Jacob Nuwa Wea sudah mengetahui persoalan ini. Menurut juru bicara Departemen Tenaga Kerja, Hotma Panjaitan, pihaknya selalu memantau kasus Sundarti. "Bahkan, Pak Menteri gemes dan mau menghentikan pengiriman tenaga kerja ke Singapura, melihat banyaknya kejadian semacam itu," kata Hotma kepada Juli Hantoro dari TEMPO. Tapi sejauh ini yang bisa dilakukan hanya meminta perusahaan asuransi yang telah ditunjuk agar menanggung semua biaya pendampingan dan perlindungan hukum bagi Sundarti.
Di kampungnya, Desa Mangge, Karangmojo, Magetan, orangtua Sundarti bukanlah keluarga berada. Sejak ayahnya meninggal, dialah yang menjadi tumpuan keluarga. Dengan menjadi pembantu di Singapura, menurut kakeknya, Supar, 71 tahun, ia bisa membiayai sekolah dua adiknya dan membantu biaya pengobatan neneknya yang terkena stroke. "Cucu saya Sundarti itulah yang saya harapkan bisa mengentaskan kami sekeluarga dari kemiskinan," kata Supar, yang sempat berlinangan air mata saat ditemui TEMPO pekan lalu.
Sang kakek tak yakin cucunya seorang pembunuh. Ia berharap pemerintah memberikan bantuan pembelaan hukum bagi cucunya. "Jika memang tak bersalah, bebaskanlah dia dari semua tuduhan agar bisa bekerja kembali," kata Supar. Harapan yang sama juga disampaikan ibunya, Binarti, yang tampak amat sedih melihat anaknya diadili dan terancam hukuman mati.
Ahmad Taufik, Dwijo U. Maksum (Magetan), Rumbadi Dalle (Singapura)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan